Entri Yang Teungoeh Populer

Kamis, 28 Januari 2010

MAHKAMAH KONSITUSI



MAHKAMAH KONSTITUSI ( MK )

Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul pada abad ke-20. Ditinjau dari aspek waktu, negara kita tercatat sebagai negara ke-78 yang membentuk MK sekaligus merupakan negara pertama di dunia pada abad ke-21 yang membentuk lembaga ini.

Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945[2] menetapkan bahwa Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) merupakan salah satu lembaga negara yang mempunyai kedudukan setara dengan lembaga-lembaga negara lainnya, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, Mahkamah Agung (MA), dan yang terakhir terbentuk yaitu Komisi Yudisial (KY)[3]. Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan salah satu lembaga yudikatif selain Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Susunan Keanggotaan
Terdapat tiga pranata (insititusi) dalam Mahkamah Konstitusi:
 Hakim Konstitusi
 Sekretariat Jenderal
 Kepaniteraan
Pasal 7 UU No.24 tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi:”Untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Mahkamah Konstitusi di bantu oleh sebuah Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan.”
Hakim Konstitusi
Mahkamah konstitusi memiliki Sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan dengan keputusan presiden.
Diajukan msing-masing:
 Tiga orang oleh Mahkamah Agung
 Tiga orang oleh DPR
 Tiga orang oleh Presiden
Hakim Konstitusi harus memiliki:
 Integritas dan kepribadian yang tidak tercela
 Adil dalam bersikap,
 Negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan,
 Tidak merangkap sebagai pejabat Negara.
 Mahkamah Konstitusi terdiri atas:
 Seorang ketua merangkap anggota
 Seorang Wakil ketua merangkap anggota
 Dan tujuh anggota hakim mahkamah konstitusi.
Ketua dan wakil ketua dipilih dari dan oleh Hakim Konstitusi, untuk masa jabatan tiga tahun. Untuk melengkapi tata cara pemilihan ketua dan wakil ketua, Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 1/PKM/2003.
Syarat calon menjadi Hakim:
 WNI,
 Berpendidikan strata satu (S-1) bidang hokum,
 Berusia sekurang-kurangnya 40 tahun pada saat pengangkatan,
 Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih,
 Tidak sedang di nyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan, dan
 Mempunyai pengalaman kerja di bidang hokum sekurang-kurangnya sepuluh tahun.
KEWENANGAN MAHKAMAH KONSITUSI ( MK )

Pasal 24C ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menggariskan wewenang Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut:

1. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
2. Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Secara khusus, wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut diatur lagi dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dengan merinci sebagai berikut:

 Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945;[4]
 Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia tahun 1945;[5]
 Memutus pembubaran partai politik; dan[6]
 Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;[7]
 Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.[8]

PEMOHON

Dalam berperkara di Mahkamah Konstitusi, sebenarnya siapa sajakah yang boleh memohon (legal standing)? Ternyata tidak semua orang boleh mengajukan perkara permohonan ke Mahkamah Konstitusi dan menjadi pemohon.[9] Adanya kepentingan hukum saja sebagaimana dikenal dalam hukum acara perdata[10] maupun hukum acara tata usaha negara tidak dapat dijadikan dasar.
Pemohon adalah subjek hukum yang memenuhi per¬syaratan menurut undang-undang untuk meng¬ajukan permohonan perkara konstitusi kepada Mah¬kamah Konstitusi. Pemenuhan syarat-syarat tersebut menentukan kedudukan hukum atau legal standing suatu subjek hukum untuk menjadi pemohon yang sah dalam perkara pengujian undang-undang.

Per¬syaratan legal standing atau kedudukan hukum di¬mak¬sud mencakup syarat formal sebagaimana ditentukan da¬lam undang-undang, maupun syarat materiil berupa kerugian hak atau kewenangan konstitusional dengan berlakunya undang-undang yang sedang dipersoalkan.
Dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi yang boleh mengajukan permohonan untuk berperkara di MK ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No. 24

Tahun 2003, yang bunyinya sebagai berikut:
1. Perorangan warganegara Indonesia;
2. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
3. Badan hukum publik atau privat; atau
4. Lembaga Negara.

Hal yang perlu diingat bahwa pemohon harus mampu menguraikan dalam permohonannya mengenai hak dan kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah apa yang dimaksud dengan hak dan kewenangan kosntitusional? Seperti telah diuraikan di atas, kepentingan hukum saja tidak cukup untuk menjadi dasar legal standing dalam mengajukan permohonan di Mahkamah Konstitusi, tetapi terdapat dua hal yang harus diuraikan dengan jelas. Dua kriteria dimaksud adalah:[11]

 Kualifikasi pemohon apakah sebagai (i) perorangan Warga Negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama); (ii) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; (iii) badan hukum publik atau privat, atau (iv) lembaga negara;

 Anggapan bahwa dalam kualifikasi demikian terdapat hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang.

HUKUM ACARA

Perselisihan yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi sesungguhnya memiliki karakter tersendiri dan berbeda dengan perselisihan yang dihadapai sehari-hari oleh peradilan biasa.[12] Keputusan yang diminta oleh pemohon dan diberikan oleh Mahkamah Konstitusi akan membawa akibat hukum yang tidak hanya mengenai orang seorang, tetapi juga orang lain, lembaga negara dan aparatur pemerintah atau masyarakat pada umumnya, terutama sekali dalam hal pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (Judicial review).[13]

Nuansa public interest yang melekat pada perkara-perkara semacam itu akan menjadi pembeda yang jelas dengan perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara yang pada umunya menyangkut kepentingan pribadi dan individu berhadapan dengan individu lain ataupun dengan pemerintah. Ciri inilah yang akan membedakan penerapan hukum acara di Mahkamah Konstitusi dengan hukum acara di pengadilan-pengadilan lainnya.

Dari uraian di atas, maka sumber hukum acara Mahkamah Konstitusi dapat dikenali sebagai berikut:[14]
 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
 Peraturan Mahakamah Konstitusi (PMK);
 Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi RI;
 Undang-Undang Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, dan Hukum Acara Pidana Indonesia;
 Pendapat Sarjana (doktrin);
 Hukum Acara dan yurisprudensi Mahkamah Konstitusi Negara lain.
Adapun secara ringkas dan sistematis, prosedur berperkara di Mahkamah Konstitusi dapat penulis simpulkan sebagai berikut:[15]

1. Pengajuan permohonan

 Ditulis dalam bahas Indonesia;
 Ditandatangani oleh pemohon/kuasanya;
 Diajukan dalam 12 rangkap;
 Jenis perkara;
 Sistematika:

- Identitas dan legal standing Posita
- Posita Petitum
- Petitum
 Disertai bukti pendukung

2. Pendaftaran

 Pemeriksaan kelengkapan permohonan panitera:
- Belum lengkap, diberitahukan
- 7 (tujuh) hari sejak diberitahu, wajib dilengkapi
- Lengkap
 Registrasi sesuai dengan perkara.
 7 (tujuh) hari kerja sejak registrasi untuk perkara.
- Pengujian undang-undang:
 Salinan permohonan disampaikan kepada Presiden dan DPR.
 Permohonan diberitahukan kepada Mahkamah Agung.

- Sengketa kewenangan lembaga negara:
 Salinan permohonan disampaikan kepada lembaga negara termohon.

- Pembubaran Partai Politik:
 Salinan permohonan disampaikan kepada Parpol yang bersangkutan.
- Pendapat DPR:
 Salinan permohonan disampaikan kepada Presiden.

3. Penjadwalan Sidang

 Dalam 14 hari kerja setela registrasi ditetapkan Hari Sidang I (kecuali perkara Perselisihan Hasil Pemilu).
 Para pihak diberitahu/dipanggil.
 Diumumkan kepada masyarakat.

4. Pemeriksaan Pendahuluan

 Sebelum pemeriksaan pokok perkara, memeriksa:
- Kelengkapan syarat-syarat Permohonan.
- Kejelasan materi Permohonan.
 Memberi nasehat:

Kelengkapan syararat-syarat permohonan.
 Perbaikan materi permohonan.
 14 hari harus sudah dilengkapi dan diperbaiki.


5. Pemeriksaan Persidangan
 Terbuka untuk umum.
 Memeriksa: permohonan dan alat bukti.
 Para pihak hadir menghadapi sidang guna memberikan keterangan.
 Lembaga negara dapat diminta keterangan Lembaga negara dimaksud dalam jangka waktu tujuh hari wajib memberi keterangan yang diminta.
 Saksi dan/atau ahli memberi keterangan.
 Pihak-pihak dapat diwakili kuasa, didampingi luasa dan orang lain.

6. Putusan

 Diputus paling lambat dalam tenggang waktu:
 Untuk perkara pembubaran partai politik, 60 hari kerja sejak registrasi.
 Untuk perkara perselisihan hasil pemilu:
 presiden dan/atau wakil Presiden, 14 hari kerja sejak registrasi.
 DPR, DPD, dan DPRD, 30 hari kerja sejak registrasi.
 Untuk perkara pendapat DPR, 90 hari kerja sejak registrasi.
 Sesuai alat bukti, minimal 2 (dua) alat bukti memuat:[18]
 Fakta.
 Dasar hukum keputusan
 Cara mengambil keputusan:
 Musyawarah mufakat.
 Setiap hakim menyampaikan pendapat/pertimbangan tertulis.
 Diambil suara terbanyak bila tak mufakat.
 Bila tidak dapat dicapai suara terbanyak, suara terakhir ketua menentukan.
 Ditandatangani hakim dan panitera.
 Berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
 Salinan putusan dikirim kepada para pihak 7 (tujuh) hari sejak diucapkan.
 Untuk Putusan perkara:
 Pengujian undang-undang, disampaikan kepada DPR, DPD, Presiden, dan MA.
 Sengketa kewenangan lembaga negara, disampaikan kepada DPR, DPD, dan Presiden.
 Pembubaran partai politik, disampaikan kepada partai politik yang bersangkutan.
 Perselisihan hasil pemilu disampaikan kepada Presiden.
 Pendapat DPR, disampaikan kepada DPR, Presiden dan Wakil Presiden.

BEBERAPA PERKARA YANG TELAH DIPUTUSKAN OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI

Pada bulan Agustus 2006 kemarin, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia genap berusia 3 (tiga) tahun.[19] Dalam perjalanannya dalam mengawal konstitusionalitas Indonesia dan membangun budaya sadar berkonstitusi, Mahkamah Konstitusi terus berusaha menjadi lembaga negara yang dekat dengan publik, dekat dengan rakyat, dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari dinamika kehidupan rakyat dan negara Indonesia. Dengan sistem peradilan yang bersih dan didukung dengan Teknologi Informasi (TI) yang sangat modern,[20] berbagai perkara yang masuk dalam Kepaniteraan Mahakamah Konstitusi telah berhasil diputuskan dan menjadi jalan keluar dari kebuntuan akan ketidakpastian hukum yang selama ini terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Sejak Mahkamah Konsitusi berdiri, penulis mencatat beberapa perkara yang sempat menjadi sorotan di tengah-tengah publik yaitu:

1. Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) tahun 2004, terdiri dari:

 Perkara PHPU Legislatif, berjumlah 273 perkara yang dikonsolidasikan ke dalam 44 permohonan, diajukan oleh 23 partai politik dan 21 calon anggota DPD.
 Satu buah Perkara PHPU Presiden dan Wakil Presiden, diajukan oleh pasangan calon Presiden Wiranto dan calon Wakil Presiden Salahuddin Wahid.

2. Perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) yang diajukan oleh
ewan Perwakilan Daerah (DPD).[21]

3. Pekara Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (PUU):
 UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
 UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan.
 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
 UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
 UU No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
 ehutanan Menjadi Undang-Undang.
 UU No. 24 Tahun 2004 tentang Kamar Dagang Indonesia (KADIN).
 UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran.
 UU No. 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Beberapa Provinsi, Kabupaten/Kota
 i Irian Jaya.
 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS).
 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
 UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
 UU No. 36 Tahun 2004 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2005.
 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).


TUGAS POKOK DAN FUNGSI MAHKAMAH AGUNG

1. FUNGSI PERADILAN

a) Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, Mahkamah Agung merupakan pengadilan kasasi yang bertugas membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali menjaga agar semua hukum dan undang-undang diseluruh wilayah negara RI diterapkan secara adil, tepat dan benar.

b) Disamping tugasnya sebagai Pengadilan Kasasi, Mahkamah Agung berwenang memeriksa dan memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir

c) Semua sengketa tentang kewenangan mengadili.

d) Permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 28, 29,30,33 dan 34 Undang-undang Mahkamah Agung No. 14 Tahun 1985)

e) Semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal perang Republik Indonesia berdasarkan peraturan yang berlaku (Pasal 33 dan Pasal 78 Undang-undang Mahkamah Agung No 14 Tahun 1985)

f) Erat kaitannya dengan fungsi peradilan ialah hak uji materiil, yaitu wewenang menguji/ menilai secara materiil peraturan perundangan dibawah Undang-undang tentang hal apakah suatu peraturan ditinjau dari isinya (materinya) bertentangan dengan peraturan dari tingkat yang lebih tinggi (Pasal 31 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).

2. FUNGSI PENGAWASAN

a) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan dengan tujuan agar peradilan yang dilakukan Pengadilan-pengadilan diselenggarakan dengan seksama dan wajar dengan berpedoman pada azas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, tanpa mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara (Pasal 4 dan Pasal 10 Undang-undang Ketentuan Pokok Kekuasaan Nomor 14 Tahun 1970)

b) Mahkamah Agunbg juga melakukan pengawasan : terhadap pekerjaan Pengadilan dan tingkah laku para Hakim dan perbuatan Pejabat Pengadilan dalam menjalankan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok Kekuasaan Kehakiman, yakni dalam hal menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, dan meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan serta memberi peringatan, teguran dan petunjuk yang diperlukan tanpa mengurangi kebebasan Hakim (Pasal 32 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985). Terhadap Penasehat Hukum dan Notaris sepanjang yang menyangkut peradilan (Pasal 36 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14

3. FUNGSI MENGATUR

a) Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang tentang Mahkamah Agung sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan (Pasal 27 Undang-undang No.14 Tahun 1970, Pasal 79 Undang-undang No.14 Tahun 1985).

b) Mahkamah Agung dapat membuat peraturan acara sendiri bilamana dianggap perlu untuk mencukupi hukum acara yang sudah diatur Undang-undang.

4. FUNGSI PENASEHAT

a) Mahkamah Agung memberikan nasihat-nasihat atau pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara lain (Pasal 37 Undang-undang Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985). Mahkamah Agung memberikan nasihat kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam rangka pemberian atau penolakan grasi (Pasal 35 Undang-undang Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985). Selanjutnya Perubahan Pertama Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945 Pasal 14 Ayat (1), Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk memberikan pertimbangan kepada Presiden selaku Kepala Negara selain grasi juga rehabilitasi. Namun demikian, dalam memberikan pertimbangan hukum mengenai rehabilitasi sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaannya.

b) Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan dari dan memberi petunjuk kepada pengadilan disemua lingkunga peradilan dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 25 Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. (Pasal 38 Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung).

5. FUNGSI ADMINISTRATIF

a) Badan-badan Peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara) sebagaimana dimaksud Pasal 10 Ayat (1) Undang-undang No.14 Tahun 1970 secara organisatoris, administrative dan finansial sampai saat ini masih berada dibawah Departemen yang bersangkutan, walaupun menurut Pasal 11 (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 sudah dialihkan dibawah kekuasaan Mahkamah Agung.
b) Mahkamah Agung berwenang mengatur tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi dan tata kerja Kepaniteraan Pengadilan (Undang-undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman).

6. FUNGSI LAIN-LAIN

Selain tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, berdasar Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 serta Pasal 38 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, Mahkamah Agung dapat diserahi tugas dan kewenangan lain berdasarkan Undang-undang.

Tidak ada komentar: