Entri Yang Teungoeh Populer

Selasa, 02 Februari 2010

Makalah Pemuda dan Politik


KATA PENGANTAR

Pertama-tama kita panjatkan puji beserta syukur kehadirat Allah SWT.Atas rahmat dan hidayahnya,kita semua masih diberikan nikmat yang begitu besar yaitu nikmat iman dan islam. Selain itu kami ucapkan terima kasih kepada semua yang telah membimbimbing dalam pembuatan makalah ini. Serta kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini, yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.
Dalam penulisan ini kami mencoba menyampaikan materi tentang “Pemuda dan Politik”.Salah satu yang perlu kita ketahui bahwa pemuda adalah generasi penerus bsangsa, dimana peranan pemuda dalam hal ini sangat besar sekali sehingga maju mundurnya suatu bangsa tergantung pada pemikiran pemuda itu sendiri.
Untuk itu kami selaku penulis akan sedikit menyampaikan beberapa hal tentang pemuda dan Politiki, agar pemuda bias sedikit memahami akan pentingnya peranan dalam segala aspek memajukan bangsa dan negara. Harapan kami selaku penulis, semoga dengan adanya makalah ini bias memberikan sedikit jawaban terutama kami mengharapkan kritik serta saran dalam penulisan ini karena kami sadar bahwa dalam penulisan ini banyak sekali kekurangan dalam penulisan makalah ini, sehingga kritik dan saran dari pembaca sangat besar sekali peranannya.


Banda Aceh,18 november 2009


Miftahul akmal yusha


PENULIS

BAB I

PENDAHULUAN

Potensi pemuda untuk masuk ke dunia politik di Indonesia tidaklah kecil. Potensi mereka justru dapat dikatakan besar.Potensi yang besar itu sekarang ini di Indonesia jarang yang dikembangkan dan dibina terus menerus, hal ini terlihat paritisipasi pemuda dalam partai politik masihlah kecil, walaupun ada juga yang ikut dalam partai politik serta berpengaruh terhadap politik di Inonesia.

Partisipasi mereka dalm kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan politik juga masihlah kecil padahal merekalah yang nantinya akan menentukan nasib bangsanya Dunia politik di Indonesia didominasi oleh orang-orang yang lebih tua serta lebih banyak pengalaman dibandingkan dengan orang muda. Orang muda disini dapat dikatakan mereka yang berumur di bawah 25 tahun.

Mereka dianggap kurang berpengalaman untuk ikut serta dalam Mempengaruhi situasi politik di Indonesia, mereka tidak diberi kepercayaan untuk ikut membuat kebijakan-kebijakan dalam organisasi politik yang berpengaruh bagi banyak orang. Orang-orang tua ini yang lebih berpengalaman takut apabila kebijakan-kebijakan yang orang muda buat merugikan banyak pihak.Untuk dapat mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki orang-orang muda dam berpolitik sebaiknya orang-orang muda ini diberi pendidikan politik di sekolah maupun diberi aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan politik.

Hal itu dilakukan agar mereka mendapat pengetahuan lebih tentang politik serta terbiasa dengan hal-hal yang berkaitan dengan politk.Pendidikan maupun aktivitas politik ini mungkin dapat diberikan pada saat SMA atau bahkan SMP agar mereka terbiasa dengan hal-hal yang berkaitan dengan politik sehingga nantinya minat mereka untuk masuk ke dunia politik di masa yang akan datang dan dapat memperbaiki kondisi politik di Indonesia.Orang-orang muda yang terjun dapat memberikan banyak manfaat dalam merubah kondisi politik di Indonesia saat ini yang kurang baik.

Pemikiran-pemikiran mereka yang cerdas serta cara pikir atau pandang mereka yang baik mungkin dapat memperbaiki kondisi politik di Indonesia. Kondisi politik di Indonesia yang saat ini diwarnai dengan golongan elite yang menjadikan politik sebagai tempat untuk mendapatkan kekuasaan dan uang sehingga mereka tidak memikirkan orang lain, yang mereka pikirkan hanyalah mendapat kekuasaan serta uang yang mengakibatkan kepentingan-kepentingan orang lain terlupakan.

Golongan elite dalam dunia politik ini tidak lain adalah orang-orang tua yang yang hanya memikirkan kehidupan mereka dari pada memikirkan kehidupan orang lain. Dengan pemikiran mereka yang cerdas orang-orang muda diharapkan dapat memperbaiki kondisi politik di Indonesia menjadi lebih baik Orang-orang tua yang sudah terlebih dahulu masuk ke dunia politik diharapkan memberikan kepercayaan dan kesempatan pada orang-orang muda agar dapat masuk ke dunia politik di Indonesia. Dengan masuknya orang-orang muda dalam dunia politik di Indonesia diharapkan kondisi politik di Indonesia dapat berubah dan dapat mensejahterahkan kehidupan banyak orang.

BAB II

PEMBAHASAN

“berikan padaku 10 pemuda revolusioner, maka akan ku guncang dunia…” (Soekarno, Proklamator RI)

Sengaja penulis mengawali tulisan ini dengan mengutip perkataan dari Bung Karno, Proklamator Indonesia sekaligus Presiden pertama Republik Indonesia. Sekadar untuk menelaah lebih jauh potensi kekuatan yang dimiliki oleh pemuda. Sebuah fase yang membedakannya dengan fase yang lain. sebuah fase dimana segenap potensi yang terdapat di diri dapat dimaksimalkan.

Menarik ketika membicarakan peran pemuda kaitannya dengan pergulatan politik di tanah air. Sejarah menunjukkan, sejarah bangsa ini tidak lepas dari peran pemuda, khususnya mahasiswa. Telah tercatat dalam sejarah bangsa ini, 6 fase penting pergerakan pemuda. Angkatan’08 menjadi awal dari revolusi yang digawangi oleh pemuda dengan lahirnya Budi Utomo. Disusul dengan angkatan’28 dengan Sumpah Pemudanya yang menjadi momentum konsolidasi nasional, kaitannya dengan perjuangan bangsa meraih kemerdekaan. Proklamasi kemerdekaan ’45 pun tidak lepas dari kegigihan pemuda yang “menekan” golongan tua untuk memproklamasikan kemerdekaan RI.

Selain itu, cerita dari angkatan ’66 dengan tumbangnya Soekarno dan lahirnya orde baru, angkatan ’74 dengan peristiwa malarinya, angkatan ’98 yang meruntuhkan Soeharto dengan orde barunya telah menjadi bukti bahwa keberadaan pemuda tidak sebatas dalam ranah advokasi semata. Lebih dari itu pemuda juga terlibat jauh dalam dinamika konstelasi politik nasional.

A.Jalan Panjang Era Reformasi

Runtuhnya era orde baru, dan digantikan dengan era reformasi menimbulkan secercah harapan tentang adanya perubahan. Sudah barang tentu, perubahan yang dimaksud adalah beralihnya sistem pemerintahan yang awalnya sentralistik-otoritarian, beralih pada desentralis-libertarian. Otonomi daerah menjadi salah satu agenda penting yang tidak dapat ditawar lagi. Mengapa? Selain untuk menghindari pemusatan alokasi kekuasaan.

Yang demikian juga ditujukan untuk menghindari ketidakadilan akibat kebijakan pemerintah pusat yang tidak berpihak terhadap kepentingan daerah. Berapa banyak potensi disintegrasi bangsa bermunculan akibat tudingan ketidakadilan tersebut.

Kini, agenda otonomi daerah telah berjalan mulus. Namun, otonomi daerah hanyalah salah satu langkah awal yang akan dilalui pada era reformasi ini. Masih banyak pekerjaan rumah dari pemerintah untuk mewujudkan pemerintahan yang demokratis dengan saluran yang sudah ada. Yang demikian adalah untuk mendorong terciptanya masyarakat madani (masyarakat warga) yang menjadi ciri terciptanya masyarakat demokrasi. Masyarakat inilah yang akan mengimbangi kekuasaan Negara.

B. Peran Pemuda dalam Manifestasi Demokrasi terhadap Pemilihan Umum

Ironisnya sebagian besar pemuda sebagai salah satu komponen masyarakat yang memegang peranan dalam menentukan arah kebijakan suatu pemerintahan.menjadi roda penggerak masyarakat, belum menyadari peranan pemilu dalam kehidupan demokrasi. Penyebabnya adalah pemuda belum mengerti arti penting pemilu dalam kehidupan bernegara, sehingga muncul paradoks terhadap esensi pemilu. Berbagai fakta ditemukan dalam praktek pelaksanaanya. Mulai dari perubahan cara memilih yang semula dicoblos menjadi dicentang kemudian ukuran surat suara yang terlalu besar seakan-akan menggambarkan bahwa pemilu tidak memudahkan masyarakat untuk menentukan siapa yang akan menjadi pengemban amanah mereka1. Hal tersebut semakin menjadi ketika pemuda merasa kecewa karena propaganda yang dielukan oleh politisi ketika berkampanye pada pemilu sebelumnya tak kunjung direalisasikan. Sehingga keikutsertaan pemuda dalam pemilu dapat dikatakan tidak berpengaruh.

Padahal jika mereka mau menelisik lebih dalam mengenai esensi pemilu itu sendiri, mereka akan menemukan peran penting pemilu guna terselenggaranya tatanan pemerintahan yang dinamis. Sebagaimana yang dijabarkan dalam UUD 1945 Pasal 22E ayat 2, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.” Sebagai contoh, jika ada sepuluh saja pemuda yang tidak turut serta dalam pemilihan umum, sama artinya dengan membuka peluang sekian persen untuk dipimpin oleh politisi yang tidak diinginkan selama ini.

Dan pemuda yang tidak turut serta dalam pemilihan umum merupakan pemuda yang antipati pada dunia pemilu, politik, kenegaraan, lebih pada pemuda yang tidak mengerti arti demokrasi serta acuh terhadap negerinya. Jika ada pandangan negatif tentang pemilu, politik, perlu adanya pelurusan dan pemahaman ke arah sana. Sehingga melalui pemilihan umum inilah para pemuda dapat mempelajari makna demokrasi yang dilambangkan melalui pemilu.

1Wawasan, Senin, 16 Febuari 2009, hlm

Mengingat tujuan utama pemilu adalah mencari, menentukan pemimpin-pemimpin dalam pemerintahan, maka sebagai insan politik yang menjunjung tinggi tujuan nasional, partisipasi aktif dalam menggunakan hak pilihnya memberikan pengaruh terhadap kelanjutan pemerintahan yang dijalankan oleh wakil mumpuni yang benar-benar pilihan masyarakat luas demi masa depan yang lebih baik.

Pemilu secara tidak langsung juga meningkatkan kepekaan pemuda dalam situasi politik yang sedang terjadi agar tidak menimbulkan euforia pemilu yang berkelanjutan. Seperti yang sedang terjadi, situasi menjelang pemilu 2009 menunjukkan bahwa pemilu adalah wahana untuk menyuarakan demokrasi secara berlebihan.

Tidak hanya turut aktif dalam menyampaikan aspirasi politik pemuda dalam pemilu namun berpartisipasi dalam mensosialisasikan esensi pemilu itu sendiri kepada pemuda lainnya yang berpandangan sempit tentang pemilu seharusnya dapat dilakukan untuk meningkatkan kesadaran politik masyarakat pada umumnya, khususnya pemuda.

Hal ini mengingatkan akan arti dari budaya demokrasi partisipan,yakni budaya politik yang anggota masyarakatnya sangat partisipatif terhadap semua objek politik, yang erat kaitannya dengan demokrasi Pancasila.

C. Pemuda dan Perubahan Politik


Mengungkapkan realitas politik sebagaimana dingkapkan sebelumnya tegas disimpulkan bahwa transformasi politik adalah suatu keniscayaan, sehingga sekurang-kurangnya yang menjadi agenda atas persoalan itu adalah; Pertama; soal bagaimana para elit-elit partai politik mampu memberi arti keberadaan suatu partai politik, bukan semata pada tujuannya untuk menjadi instrumen pencapaian kedudukan, tetapi jauh lebih berarti adalah menggerakan fungsi-fungsinya untuk mengartikulasikan kemaslahatan rakyat banyak. Kedua, bagaimana elit-elit para pelaku politik untuk tidak terjebak pada adagium dan paradigma lama untuk meletakkan status quo, tetapi pada komitmen dan integritas sebagai elemen perubah. Ketiga, bagaimana para pelaku politik mampu mendorong tercipatanya sistem politik di satu sisi, dan menggerakkannya secara komplementer dengan budaya politik yang bertum-buh kembang di tengah masyarakat.

Jika ketiga soal tersebut dijadikan sebagai agenda transformasi politik, maka selain kaum intelektual dan cerdik cendekia posisi peran pemuda diharapkan menjadi instrumen penentu, sebagaimana rentetan pergerakannya yang dicatatkan dengan tinta emas dalam potret sejarah perubahan bangsa Indonesia, baik sebelum kemerdekaan (kebangkitan nasional 1908, per-sepakatan satu bangsa 1928, dan memproklamirkan kemerdekaan Indonesia 1945), maupun sesudah Indonesia merdeka (Tritura 1966, Malari 1974 dan reformasi 1998).18

Hanya saja, persoalan lain yang sampai saat ini belum terselesaikan, adalah soal pola dan bentuk gerakan kaum muda dalam menggerakkan suatu perubahan. Yaitu antara gerakan struktural dalam bentuk pemberontakan,19 ataukah gerakan kultural dalam bentuk penciptaan kesadaran hak-hak dan tanggungjawab sebagai warga negara. Penganut gerakan kultural menuding bahwa gerakan struktural tidak menyentuh pada substansi persoalan, semen-tara penganut struktural berdalih bahwa gerakan kultural sangat lamban dalam melakukan perubahan. Meskipun, dari sisi proses keduanya memiliki tarik ulur yang sama kuatnya, tetapi ketemu pada tujuan pencapaiannya dalam melaku-kan perubahan.

Untuk itulah, selain karena memiliki pembenarannya masing-masing, juga karena keduanya memiliki pencapaian tujuan yang sama, sehingga soal itu tidak mesti harus diselesaikan. Tetapi dalam melakukan transformasi politik era reformasi, keduanya sama-sama menjadi penting. Transformasi politik di satu sisi adalah soal struktural, sebagaimana tujuan partai politik untuk mencapai kekuasaan, membangun sistem politik, dan bagaimana para pelaku politik mampu menggerakkannya. Selebihnya transformasi politik secara kultural menjadi suatu yang absah, yaitu bagaimana menggerakkan partai politik untuk menjalankan fungsi-fungsinnya bagi masyarakat setidak-tidaknya para pengikutnya, untuk menciptakan suatu budaya politik yang egalitarian, berdasarkan komitmen pembaharuan dari para pelaku politik.
Kedua sisi itulah yang melingkupi kaum muda dalam realitas politik dalam melakukan transformasi politik. Secara struktural (dalam pemahaman ini), jauh lebih memungkinkan untuk mampu digerakkan oleh kaum muda jika mengambil posisi peran sebagai praktisi politik dalam struktur partai politik, untuk menggerakkan kelembagaan partai politik secara institusional. Mengge-rakkan roda organisasi untuk melakukan reproduksi mekanis atas suatu peristiwa politik, bukan untuk pencapaian tujuan kekuasaan semata, tetapi menggerakkan fungsi-fungsinya untuk mengkomunikasikan dan mensosia-lisasikan politik, serta memanfaatkan partai politik sebagai sarana pengatur konflik.

Sama berartinya jika kaum muda mengambil posisi untuk melakukan transformasi politik secara kultural, dengan melihatnya bahwa kerja-kerja politik bukanlah urusan teknis yang mekanistik, tetapi pekerjaan intelektual. Yaitu menggerakkan tujuan perubahan berdasarkan pergulatan dan dialektika yang intens dilakukannya antara persepsi dirinya dengan bagaimana meman-dang suatu peristiwa politik, kaitannya dengan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam suatu bangunan negara. Dengan itu, bentuk peru-bahan yang dilakukannnya adalah merupakan pergulatan dirinya dengan persoalan dengan melibatkan tanggungjawab sosialnya dan integritas intelek-tual yang dimilikinya.20

Cita-cita ideal yang diharapkan atas dua pola pendekatan transformasi politik itu, adalah terbangunnya budaya politik (cultur politic) dan masyarakat madani (civil society), yaitu menggerakkan keadaan sebagaimana mestinya, mempertimbangkan kemanfaatannya, serta memberi perspektif terhadap nilai yang sedang dianut ditengah masyarakat sebagai budaya politik dan mengar-tikulasikannya dalam sistem politik, untuk selanjutnya bermuara kembali menjadi budaya politik, dan selanjutnya. Itu artinya bahwa, bagi kaum muda yang akan melakukan transformasi politik, bukanlah suatu tanggungjawab yang bebas nilai, tetapi memiliki seperangkat nilai yang menjadi referensi perge-rakannya, serta memperjelas posisi gerakannya, maupun untuk memben-tangkan visi ideal yang menjangkau ke depan atas cita-cita yang hendak di-capainya.
Pemaknaan atas pola pergerakan yang sedemikian itu, referensi nilai dijelaskan Dirk Huels21 adalah unsur konstitutif yang menentukan watak dan kepribadian, karena memerlukan kejujuran dan keikhlasan untuk berani menjauhkan unsur-unsur subjektif bagi kepentingan diri semata, tetapi berikhtiar pada objektivitas atas suatu perangkat nilai untuk tetap setia pada ide dasar dan cita-cita perjuangan yang telah digariskan sebelumnya, dan jauh lebih mengedepankan tujuan jangka panjang dan untuk tujuan kemaslahatan orang banyak.

Pada saat adanya kepentingan dalam suatu tanggungjawab, pada saat itu jugalah objektivitas memerlukan ujian sebagai pertaruhan integritas terhadap setiap diri. Suatu yang pada dasarnya memang semakin paradoksal sekali sifatnya, karena menjadi suatu yang sejak mula adanya politik dan partai politik itu sendiri sebagaimana diungkapkan diawal tulisan ini substasinya adalah soal problematika kepentingan itu sendiri, dalam kamus politik dikenal pameo “Tidak ada kawan abadi, yang abadi adalah kepentingan itu sendiri”. Jika demikian mestinya, masih mampukah kaum muda diharapkan menjadi elemen perubah dalam tatanan politik ke-Indonesia-an mendepan, ataukah hanya berposisi jadi elemen pengabsah atau suatu realitas politik yang sudah demikian adanya.Untuk memberi jawaban sederhana terhadap soal itu, bahwa kultur politik era reformasi saat ini, yang menjadi realitas politik yang melingkupi kaum muda, tidak memungkinkan lagi baginya untuk berposisi sebagai pengabsah semata. Jika tidak ingin bergeser dari ideologi pragmatisme,22 maka sistem politik ke-Indonesia-an yang sedang berubah dan bergerak begitu sangat cepat, pasti akan menggilasnya.

D. Dunia Yang Terbelah

"Rural youth, that is, the teen-age boys and young men, handle themselves toward their society with a great deal of independence … In a real way, at this age, they are beyond social law—bright, curious, forever under foot, but never seriously rebuked or disciplined… Congruent with this high degree of independence and solidarity is the unique social role assigned to youth by the villager and indeed by Javanese society in general. The djaka, or, as they are more often called, the pemuda (a term expressive of their ‘dynamic’ character and the prefered term among modernist), are given powerfull social license by their society to take on the more vigorous, emotionally arousing social tasks requiring brusque, aggressive, even socially violent action … In the eyes of the Javenese the “youth” were the guerrilla fighters par-excellence in the postwar struggle against the Dutch. They have also been consistently the vanguard for political struggle in rural Modjokuto."

(Robert R. Jay. Religion and Politics in Rural Java, 1963: 90-93)

Jay menulis komentar ini ketika ia melakukan penelitian lapangan di wilayah Kediri, Jawa Timur, pada dekade awal tahun 1950an. Dan tidak disangkal, banyak peneliti asing tentang Indonesia telah terkesan dan menulis mengenai sifat ’dinamis’ pemuda yang dalam istilah Jay disebut sebagai ’guerrilla fighters par-excellence’ atau ‘vanguard for political struggle’ di wilayah kajiannya. Salah satunya adalah ilmuwan politik terkenal di Indonesia, Benedict Anderson yang mengabadikan sifat dinamis itu sebagai motor penggerak dari revolusi Indonesia [Benedict Anderson: 1972].

Dari fakta sosial dan kultural semacam ini, idealisasi konsepsi pemuda dalam kehidupan politik Indonesia kontemporer terus terabadikan seperti tertuang dalam ritual tahunan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober yang dikenang sebagai tonggak ketika kaum muda Indonesia menjadi motor penggerak lahirnya sebuah bangsa bernama Indonesia.

Meskipun demikian, dalam sebuah real-politics atau kenyataan rutin kehidupan sehari-hari, pemuda tidak mengalami hidup seindah citra yang dibentuk dalam konsepsi budaya dan ritual politik Indonesia. Siapapun harus siap kecewa terutama kaum muda itu sendiri ketika mereka harus hidup dalam dunia nyata dan mempertanyakan peran apa yang harus diambil dalam masyarakat mereka.

Sifat paradoksikal dari dunia pemuda dan kehidupan nyata yang mereka alamterlepas dari bagaimana idealisasi terhadap konsepsi pemuda dalam masyarakat Indonesia dinyatakan dengan baik oleh Clifford Geertz yang dalam dekade sama dengan Jay mengamati kehidupan masyarakat Indonesia, tepatnya di bagian timur pulau Jawa ketika ia mengamati hasil sistem pendidikan barat yang menghasilkan sebuah kelompok sosial yang lepas dari dunia sosial mereka, tetapi tidak jelas betul bagaimana posisinya. Seperti Geertz katakan ‘this emergent Indonesian “youth-culture”, made up of an intense, idealistic, and perpelexed group of young men and women who have suddenly been projected into a world thay never made ...’[Clifford Geertz. 1976: 378].

Dalam kehidupan sehari-hari politik Indonesia sekarang ini, sifat paradoksikal tersebut tidak dapat disangkal timbul tenggelam dalam setiap moment ketika keresahan dan situasi sosial menuntut idealisme pemuda tampil ke permukaan. Dalam kaitan ini, seperti belum lama ini kita bisa amati dalam media massa Indonesia, sekelompok pemuda di Jakarta telah mendeklarasikan sebuah tuntutan tentang pentingnya pemuda mengambil peran kepemimpinan dalam masyarakatnya. Agak mengherankan memang, cetusan yang ditampilkan bukanlah sebuah dunia baru dari ‘masyarakat lama’ Indonesia yang membutuhkan dinamika baru, tetapi lebih pada cetusan ‘perang generasi’ yang mana kelompok pemuda ini menyalahkan kerusakan sosial, politik dan ekonomi Indonesia sekarang ini pada senior-senior mereka yang menduduki kursi kekuasaan.

Bukan sebuah ‘revolusi’ atau agenda politik yang menawarkan dinamisme pemuda yang tampil dalam cetusan tersebut, tetapi lebih pada sebuah posisi dalam masyarakat yang memang jauh dari gapaian kelompok tersebut. Tidak mengherankan bila kemudian muncul tantangan dan kritik bahwa soal kepemimpinan bukanlah soal perbedaan generasional, tetapi lebih pada kapasitas, pengalaman dan visi seseorang. Selain itu, kepemimpinan bukan sesuatu yang dapat diminta, melainkan direbut untuk kemudian dijalankan.

E. Apa Kata Sejarah?


Pemuda dan karakter dinamisnya pada dasarnya bukan cuma pengalaman unik Indonesia. Sejarah dunia telah menunjukkan bagaimana kaum muda menempatkan diri sebagai sebuah kekuatan kolektif menjebol tatanan mapan dan memimpikan dunia baru. Revolusi Kebudayaan di Tiongkok menunjukkan bagaimana anak-anak muda keluar dari kehidupan keluarga mereka, membentuk brigade-brigade kampung dan desa dengan membawa buku kecil merah berisi ajaran Mao Tse Tung tentang revolusi di Tiongkok yang belum selesai. Dalam tataran politik formal, tidak dapat disangkal bahwa revolusi kebudayaan adalah bagian dari sebuah pertarungan politik antara elit kekuasaan di Tiongkok saat itu. Tetapi dinamikanya ada di tangan kaum muda. Bisa dibayangkan, tokoh terhormat revolusi sosialis Tiongkok, Deng Xiao Ping, misalnya, telah dicaci maki oleh orang-orang muda belia yang sebelumnya tidak lebih bayi merah ketika Deng membangun tentara petani menggulingkan kekuasaan Chiang Kai sek.

Di benua Eropa, mungkin kita dapat mengingat bagaimana mahasiswa Prancis memulai revolusi melawan pemerintahan De Gaule pada bulan Mei 1968. Kalau awalnya tuntutan mahasiswa bergerak memprotes seputar kejumudan sistem pengajaran di perguruan tinggi Prancis saat itu, namun kemudian pergerakan itu tumpah-ruah kejalanan, membangun barikade-barikade menuntut transformasi radikal dalam dunia sosial Prancis yang telah mapan pada saat itu. Filsuf ternama Prancis, Jean Paul Sartre, yang terkenal dengan aliran existensialismenya turut menjadi bagian gelombang ini. Dinamika pemuda dalam revolusi Mei 1968 meskipun kemudian dikalahkan menjadi lambang bagi filsuf itu untuk melihat dimensi subyektif manusia menjebol sebuah struktur sosial, politik, budaya yang menjadi kerangkeng manusia.

Dan terakhir mungkin bisa dilihat pula apa yang disebut sebagai ‘generasi bunga’ pada yang berpengaruh besar terhadap kehidupan sosial politik Amerika Serikat pada dekade 1960an dan 1970an. Semangat jaman dekade tersebut sampai saat ini masih dapat kita rasakan melalui ikon-ikon pop dunia seperti The Beatles dengan lagu berjudul Revolution dalam raungan suara gitar elektrik bernada Rock N Roll yang mencerminkan semangat jaman penuh pemberontakan saat itu, atau lengkingan gitar Jimi Hendrix serta lirik-lirik anti perang yang dibawakan oleh Joan Baez, Bob Dylan dan sebagainya. Tak urung, rejim militer Orde Baru pada saat mulai berkuasa telah mengkhawatirkan pengaruh dari tingkah polah generasi bunga itu seperti tercermin dalam tanggapan mereka menghadapi aksi-aksi pemuda yang memprotes rejim tersebut yang kemudian dikenal sebagai Malari pada tahun 1974.

Ketika menceritakan revolusi Indonesia dan kaitannya dengan peran pemuda, Gie mengatakan bahwa ‘bagi pemuda-pemuda Indonesia umumnya revolusi mempunyai arti yang lebih luas dari sekedar daripada kemerdekaan bangsa, kedaulatan negara dan kemerdekaan ekonomi.’ Semangat jaman pemuda, seperti dikatakan Gie, ‘adalah pembaharuan atas segala nilai-nilai hidup.’ Revolusi, sebuah periode ketika tatanan lama goyah dan tatanan baru belum jelas terbentuk, dan dorongan terpenting bagi kaum pemuda saat itu adalah kesadaran mereka untuk menempatkan diri sebagai ‘pembebas penderitaan rakyat.’ Mereka [pemuda-pemuda revolusi], ‘seolah-olah bersumpah pada rakyat bahwa mereka akan menghilangkan kemiskinan dengan kemerdekaan. Dan secara tidak sadar mereka dikejar-kejar oleh ‘sumpahnya’ tadi.’

Dalam tingkat ekstrem, ekspresi pembaharuan ini menjalar pada tingkat kehidupan sosial lama yang menyinggung ‘ikatan keluarga dan perkawinan’. Revolusi telah membawa penempatan baru bagi para pemuda untuk berjarak pada hubungan ‘ayah dan anak’ sejauh terjadi pertentangan ideologi di antara mereka. Contoh kasus adalah kemarahan Mayor Wiranatakusumah ketika mengetahui ayahnya, R.A. Wiranatakusumah memproklamasikan diri sebagai kepala negara Republik Pasundan. Bahkan dalam suasana revolusioner seperti itu, Bung Tomo, yang sengaja memelihara rambut gondrongnya, pernah bersumpah bahwa ia ‘tidak menjalankan kewajiban dan hak sebagai suami-istri sebelum ancaman terhadap kedaulatan negara dan Rakyat dapat dihalaukan. Tetapi yang terpenting dari segala ekspresi pemuda dalam revolusi, seperti dikatakan Gie, adalah:

Jika pada nilai-nilai dasar yang essensial perkawinan, hubungan ayah dan keluarga telah ‘dilanggar’ oleh revolusi, maka nilai-nilai lain yang lebih formal dengan mudah dilepaskan pula. Sikap terhadap pamong praja, terhadap bangsawan-bangsawan feodal ataupun terhadap hubungan lainnya lebih mudah dilanggar. Dalam suasana psikologis dan demam revolusi terjadi Peristiwa Tiga Daerah, revolusi sosial di Sumatra Timur, revolusi sosial di Solo, pembunuhan orang-orang Cina di Tangerang, Bumiayu dan lainnya.

Semuanya bersumber pada pemberontakan dari nilai-nilai baru (yang sangat diak jelas untuk kebanyakan pemuda sendiri) terhadap nilai-nilai lama. Bagi pemuda umumnya revolusi berarti tantangan untuk mencari nilai-nilai baru dan pencarian inlah kita akan mengerti frustasi-frustasi yang timbul kemudian.

Analisis cerdas Gie dalam uraiannya mengenai revolusi Indonesia mengantarkan kita pada aspek essensial peran pemuda dalam proses sejarah di negeri ini. Segala unsur remeh yang banyak dilecehkan dan dicela oleh mereka yang berada dalam dunia mapan seperit hubungan seksual yang longgar, anti-lembaga perkawinan dan kegarangan pemuda bagi Gie adalah riak saja yang menunjukkan potensi bagi mudahnya mereka ‘melanggar nilai-nilai lain yang lebih formal’ dalam dimensi sosial, ekonomi dan politik masyarakat.

Dapat disimpulkan bahwa apa yang dikatakan sejarah terhadap sosok pemuda baik di Indonesia maupun di luar adalah fakta bahwa mereka adalah kekuatan utama yang membawa dengan gigih sebuah ‘semangat jaman’ baru bagi masyarakatnya. Pengalaman ketika reformasi politik di Indonesia bergulir pada bulan Mei 1998 sedikit banyak memberikan betapa gambaran yang ditunjukan Gie lima dekade berikutnya muncul dalam kehidupan kontemporer kita. Dengan demikian, apabila ada tuntutan pada periode baru-baru ini mengenai peran pemuda dan kepemimpinan, sesungguhnya itu baru satu aspek yang kecil dalam peran sejarah pemuda. Pokok terpenting adalah semangat jaman seperti apa yang akan diwakili para pemuda Indonesia saat ini, bukan pada posisi kepimpinan yang lebih merupakan milestone kecil hasil sebuah pertarungan politik (dan sudah barang tentu bukan sesuatu yang diberikan).

F. Dari Ujung Barat Indonesia

Untuk berkaca tentang bagaimana kaum muda menjalankan peran dan fungsi dalam dunia politik saat ini, tidak ada tempat paling menarik sebagai pembelajaran selain apa yang terjadi di wilayah paling barat Indonesia saat ini: Nangroe Aceh Darussalam. Mengapa Aceh menjadi rujukan dan apa yang dilakukan kaum muda Aceh sehingga patut menjadi pembelajaran? Pertama-tama mungkin sifatnya romantis. Tidak ada satu wilayah yang mana para pahlawannya telah begitu banyak memberikan kebanggaan terhadap Indonesia.

Di hampir setiap kota besar, nama-nama seperti Cut Nyak Din, Teuku Umar, Teuku Cik Di Tiro begitu banyak menjadi simbol dari perjuangan Indonesia. Untuk membangun harga diri dan kebanggaan sejarah perjuangan Indonesia, kita banyak berhutang pada orang-orang yang berasal dari wilayah ujung barat Indonesia tersebut. Bahkan, di era yang mana banyak orang Indonesia tidak sadar sejarah, masih dengan mudah penduduk negeri ini sampai mereka yang duduk di sekolah dasar untuk mengenal siapa itu Cut Nyak Din atau Teuku Umar misalnya.

Kedua adalah karena situasi sosial dan politik yang ada di wilayah itu saat ini. Perjanjian Damai di Helsinki antara pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah menciptakan sebuah situasi yang disebut seorang ilmuwan politik sebagai political opportunity structure [Sidney Tarrow, 1982] bagi aktor-aktor politik di Aceh, termasuk kaum muda mereka.

Berada di wilayah NAD saat ini, kita dengan cepat dapat menangkap sebuah situasi jaman di kalangan kaum muda untuk merumuskan dan membawa Aceh Baru dalam kehidupan sosial politik masyarakat yang telah hancur lebur oleh perang selama beberapa dekade dan juga bencana Tsunami.

Karakter ini dapat dilihat dari salah satu sosok yang muncul di Aceh, yaitu Aguswandi, yang merupakan tokoh intelektual muda Aceh sekaligus sekarang menjadi ketua umum Partai Rakyat Aceh. Perjalanan hidupnya cukup menarik dan dapat kita bandingkan dengan tokoh-tokoh pendiri bangsa ini. Dia lahir dari keluarga petani biasa di Aceh, dan masuk sekolah menengah umum (SMU) di Banda Aceh dan menjadi mahasiswa Syiah Kuala. Aguswandi tumbuh besar ketika ‘perang dalam negeri’ menjadi bagian dalam sejarah Aceh, dan ia dapat dikatakan sebagai ‘generasi perang’ seperti juga rekan-rekan sebayanya.

Ketika kuliah, ia membentuk apa yang disebut sebagai Solidaritas Mahasiswa untuk Referendum (SMUR) yang sekaligus menjadi dasar baginya menempati posisi nomor satu orang populer di Aceh dalam sebuah polling pada tahun 1999. Tuntutannya atas referendum di Aceh, dan popularitasnya, menyebabkan ia kemudian menjadi buronan politik rejim Orde Baru yang memaksanya secara sembunyi-sembunyi meninggalkan Aceh dan Indonesia (dan sudah barang tentu keluarga dan sahabat) untuk hidup sebagai pelarian politik di negara orang (Inggris).

Hanya perjanjian damai Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005 yang memungkinkannya kembali ke tempat ia dilahirkan di Banda Aceh, bersama-sama pelarian politik Aceh yang tinggal di berbagai negara.

Fakta paling menarik adalah ketika ia menulis dan menerbitkan buku berjudul “9 Langkah Memajukan Diri Membangun Aceh Baru” pada awal tahun 2007. Di dalam buku ini, Aguswandi menulis 9 hal yang menurutnya penting sebagai modal dasar membangun Aceh Baru, seperti belajar bahasa Inggris, membangun etika kerja keras yang modern, merangkul proses globalisasi dan lain sebagainya. Pokok inti dari apa yang dapat kita lihat dalam karya tersebut adalah sebuah gambaran tentang sosok pemuda yang termasuk juga dapat dilihat dalam gambaran rekan-rekan segenerasinya di Aceh saat ini yang sibuk memikirkan kondisi masyarakatnya dan menawarkan sebuah formula yang diyakini dapat membawa kebaikan bagi masyarakat. Eksperimen-eksperimen semacam ini terus berjalan, dan dinamika pemuda yang menjadi denyut nadi perubahan dalam sejarah Indonesia dapat kita temukan di Aceh saat ini. Dalam kondisi ini, banyak karakter dan sosok pemuda seperti Aguswandi yang dalam enerji muda mereka sibuk memikirkan apa yang baik buat masyarakatnya. Mereka membangun partai politik (seperti Partai Rakyat Aceh) atau organisasi massa (seperti Sentral Informasi Referendum Aceh, SIRA) dan kebanyakan mereka memiliki hasrat politik luar biasa membangun masyarakat dan menyusun kekuatan untuk menguasai institusi-institusi politik formal (dan tidak meminta untuk menjadi pemimpin seperti dalam pengalaman kita baru-baru ini).

Dalam kaitan ini, dinamika kaum muda Aceh dapat menjadi pembelajaran bagi kita semua di Indonesia. Mereka tengah mewakili sebuah semangat jaman yang mana perubahan-perubahan yang mereka inginkan—meskipun belum jelas benar bagaimana akibat perubahan itu nantinya—dijalankan dengan serangkaian eksperimen dan dinamisme pemuda. Aceh Baru adalah sebuah cita-cita besar—lebih dari sekedar tuntutan ingin menjadi pemimpin—yang memang tumbuh dalam sebuah masyarakat yang tengah berubah dengan cepat. Mampukah kita?

G. Indonesia Baru

Sebagai penutup, setidaknya ada sebuah tantangan yang perlu dilontarkan dan perlu kita jawab bersama: dengan alasan apa kita bergerak? Masalah besar apa yang dihadapi masyarakat Indonesia sehingga para pemudanya perlu bergerak? Cita-cita yang bagaimana yang dapat menggerakan semangat psikologis dan karakter dinamis pemuda di Indonesia saat ini? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan dasar bagi kita semua ketika kita mencoba menempatkan posisi pemuda dalam sebuah arena politik.

Barangkali kita bisa meniru rekan-rekan kita para pemuda di Aceh yang bermimpi untuk membangun Aceh Baru. Kita bisa menamakannya sebagai Indonesia Baru dan kita harus memiliki sebuah cita-cita tentang bagaimanakah karakter Indonesia Baru? Apakah kita sekarang masih memiliki sebuah rasa bangga ketika menyatakan diri sebagai orang Indonesia? Dan apabila tidak, lalu bagaimana caranya kita bisa menjadi bangga? Ringkas kata: Ayo bergerak untuk Indonesia Ba

DAFTAR PUSTAKA

Afan Gaffar. “Javanese Voters: A Case of Election Under A Hegemonic Party System”, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1992.

A. S. Hikam. “Demokrasi dan Civil Society”, LP3S, Jakarta,1996

Burhanuddin (Editor), “Mencari Akar Kultural Civil Society di Indonesia”, INCIS, Jakarta 2003.

Ignas Kleden. “Budaya Politik atau Moralitas PoliKi?”, (Artikel), Harian Kompas, 12 Maret 1998.

Idrus Marham, “Pemuda dan Jebakan Penjara Pragmatisme”, Artikel dalam Jurnal Resonansi, volume 1 nomor 2 tahun 2003.

Miriam Budiardjo. “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, Gramedia, Jakarta, 1988.

St. Sularto. 2001. Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi. Jakarta : Kompas. Hal.xi

Tulisan ini merupakan sumbangan dari sdr iim (ahmad faial amrie)

Tidak ada komentar: