Entri Yang Teungoeh Populer

Jumat, 12 November 2010

KONFLIK ISRAEL DAN LIBANON SERTA KETERLIBATAN HIZBULLAH



Sejarah Konflik di Libanon-Bagian Pertama
Dari Maronites hingga Konstitusi 1926
Junito Drias
LibanonUtusan khusus kemanusiaan PBB menyebut konflik di Libanon tahun 2006 sebagai bencana kemanusiaan. Tapi ini bukan kali pertama negara di Timur Tengah itu diguncang konflik. Sebaliknya wilayah ini sudah berkali-kali diamuk kekerasan. Sejarah daerah ini dimulai dari masuknya kelompok militer suku Mardaïtes yang mendiami bagian utara bersama-sama penduduk asli.
Abad ketujuh kelompok Kristen Maronites masuk wilayah tersebut setelah meninggalkan kampung halamannya di Suriah Utara karena mengalami aniaya. Mereka kemudian juga tinggal di utara bersama-sama Mardaïtes dan penduduk lokal, serta membangun gereja Maronite pertama. Secara perlahan-lahan mereka menerima bahasa Arab sebagai bahasa sehari-hari, sedangkan bahasa Suriah, bahasa asli mereka hanya dikhususkan untuk kegiatan ibadah.
Maronites dan Druze

Sementara itu suku-suku Arab masuk ke Libanon Selatan setelah Suriah berhasil dikuasai Islam. Mereka ini menyatu dengan warga lokal dan pada abad ke 11 beralih ke kepercayaan Druze, sebuah sekte yang tak diakui dari Islam Syiah. Libanon Selatan menjadi pusat kegiatan sekte ini. Selain itu Islam Syiah lainnya menduduki utara dan selatan gunung serta lembah Al-Biqa. Berkembangnya Maronites di utara, dan Druze serta Islam Syiah di selatan pada akhirnya nanti menjadi benih masalah kekuasaan.
Akhir abad ke 11 Libanon sempat menjadi bagian dari Kristen di bawah kelompok yang melancarkan perang salib. Maronites bahkan turut menerima supremasi Vatikan namun tetap mempertahankan liturginya sendiri. Libanon sebagai kantong Salibis akhirnya jatuh ke tangan Muslim setelah Sultan Saladin berhasil merebut Beirut pada tahun 1187. Libanon kemudian masuk dalam kekuasaan Mamluk(negara budak) dari Mesir dan Suriah.
Imperium Ottoman

Pada sekitar tahun 1516 Libanon jatuh ke dalam tangan imperium Ottoman. Pada masa ini terjadi reformasi besar-besaran. Kelompok Syiah yang ada di utara dipaksa untuk kembali ke selatan, dan di sana mengembangkan kekuatannya. Kemudian Druze dipindah ke Selatan Suriah, sementara Maronitse masuk ke wilayah selatan tinggal di antara Druze. Pada masa-masa ini perekonomian Libanon mulai bangkit dan menjadi makmur. Perdagangan dengan Eropa dikembangkan terutama perdagangan sutera. Pada saat bersamaan pengaruh politik Perancis juga makin kuat di kelompok Maronites.
Perkembangan ini mendorong pertumbuhan cepat kalangan Kristen hingga mulai mendiami wilayah-wilayah di selatan. Beberapa di antara mereka bahkan ada yang memilih keluar Libanon mendiami Amerika dan Mesir. Katolik Perancis dan Protestan Amerika berlomba-lomba membuat sekolah-sekolah Kristen. Salah satunya adalah Kolese Suriah Protestan, yang kini dikenal dengan nama Universitas Amerika di Beirut. Menguatnya Kristen membuat cemas Druze. Apalagi putri mahkota Shihab yang saat itu berkuasa makin condong ke arah Maronites.
Penguasa Druze, Bashir II kemudian mencoba untuk melemahkan Maronites dengan berkolaborasi bersama Ibrahim Pasha penguasa tentara Mesir yang menduduki Libanon. Namun ini gagal setelah panglima Mesir tersebut dijatuhkan Anglo-Ottoman. Masa-masa setelah kejatuhan ini diwarnai ketegangan antar pihak. Druze ingin mempertahankan kejayaan tradisionalnya. Sementara Ottoman ingin tradisi kekuasaan ini distop sehingga ia bisa menggolkan kekuasaanya. Sementara Perancis mendukung Maronites dan Inggris mendukung Druze.


Pembagian kekuasaan

Konflik berpuncak pada pembantaian Maronites oleh Druze pada tahun 1860. Ini kemudian memancing campur tangan Perancis atas nama Kristen dan berakhir dengan pola pembagian daerah kekuasaan yang berlangsung hingga perang dunia pertama. Usai perang Libanon berada di bawah kekuasaan pasukan sekutu, khususnya di bawah militer Perancis. Tahun 1923 Liga Bangsa Bangsa(kini bernama Perserikatan Bangsa-Bangsa) secara resmi menyerahkan mandat penguasaan Libanon dan Suriah kepada Perancis. Kristen Maronite tentu saja menyambut gembira keputusan tersebut.
Perang dan berkembang pesatnya penduduk Kristen membuat perubahan atas keseimbangan jumlah penduduk. Pembagian komunitas tidak lagi didasarkan atas Maronite, Druze, Syiah dan Sunni, melainkan Kristen dan Islam. Satu hal yang membuat sama adalah sebagain besar dari mereka tidak menginginkan pendudukan Perancis, tapi juga tidak mau berdiri sendiri. Mereka ingin pembentukan Suriah Raya atau Arab. Untuk meredakan ketegangan tersebut disepakati Konstitusi 1926 yang mengatur pemerintahan yang merata. Yaitu presiden republik berasal dari Maronite, perdana menteri dari Sunni dan ketua parlemen dari Syiah.
Merdeka
Untuk beberapa saat lamanya pemerintahan Libanon berjalan normal. Namun krisis ekonomi dan melemahnya perdagangan sutra kemudian ditambah lagi dengan krisis politik menjelang perang dunia kedua membuat suara-suara menuntut kemerdekaan Libanon makin nyaring. Menyusul kejatuhan Perancis di tahun 1940, kelompok pembebasan menyatakan kemerdekaan Libanon. Ini terjadi pada tanggal 26 November 1941. Kendati begitu pernyataan tersebut tidak diakui, bahkan tentara Inggris dan Perancis bercokol penuh di negara tepi Laut Mediterania tersebut.
Tahun 1943 Libanon menyelenggarakan pemilu yang membuahkan kemenangan kelompok nasionalis. Kemenangan penuh kelompok nasionalis ini terjadi pada akhir tahun 1946 saat pasukan pendudukan Inggris dan Perancis meninggalkan Libanon. Dengan penarikan ini Libanon resmi merasakan kemerdekaan dan masuk dalam angota Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Liga Arab. Namun ini bukan berarti akhir dari masalah. Libanon kerepotan menjaga keseimbangan kekuasaan antara Islam dan Kristen di tubuh pemerintah. Belum lagi penguasa yang punya kepentingan lain.
Kudeta

Partai Nasionalis Sosial Suriah di Libanon, setelah mendapat inspirasi kudeta di Suriah, mencoba menggulingkan rejim Khuri yang korup saat itu. Upaya tersebut gagal, dan para pemimpin partai ditembak mati. Tahun 1951 dalam sebuah aksi pembalasan, Perdana Menteri Khuri ditembak mati. Camille Chamoun ditunjuk oleh parlemen untuk mengisi kursi presiden. Nasib pemerintahan tak jauh berbeda terlebih ketika Chamoun enggan memutuskan hubungan dengan Inggris dan Perancis yang masa itu menyerbu Mesir.
Keengganan menolong Mesir yang saat itu di bawah pimpinan nasionalis Arab Gamal Abdel Nasser, membuat isu ini bergeser menjadi Barat dan Islam. Kelompok Muslim mengambil sikap oposisi terhadap pemerintah, bahkan mempersenjatai diri. Jenderal Chehab, panglima anggkatan bersenjata waktu itu menolak menyerang kelompok Islam bersenjata ini karena cemas konflik akan berakhir antara Islam lawan Kristen. Rejim pro Barat ini pun pada akhirnya dikudeta dan Chamoun meminta bantuan Amerika Serikat. Walaupun tak sanggup menolong posisi Chamoun, kehadiran pasukan AS membuat perlawanan Muslim lambat laun menghilang.
Dibalik ketenangan

Jenderal Chehab yang menolak menyerang Muslim akhirnya menjadi presiden baru dan Rashid Karimi menjadi perdana menteri baru. Di bawah kepimpinannya Libanon menikmati masa tenang. Sekalipun begitu di balik itu semua mengendap bom waktu yang nantinya meledak dalam perang saudara berdarah. Yang paling menyolok adalah bangunan politik Libanon yang harus senantiasa memperhatikan keseimbangan kelompok. Kemudian perkembangan ekonomi di kota mendorong urbanisasi besar-besaran di Beirut. Sialnya urbanisasi ini tidak diimbangi dengan pencampuran penduduk, tapi justru sebaliknya pengotakan antara Islam dan Kristen.
Selain itu, karena Kristen lebih dulu ada di kota, maka secara ekonomi mereka lebih baik. Berbeda dengan saudaranya kaum Muslim yang tinggal di pedesaan atau pinggiran yang miskin. Ini memancing kecemburuan. Belum lagi ada perasaan di Suriah bahwa keputusan Perancis memisahkan Libanon dari Suriah adalah tidak tepat. Kemudian suara-suara sumbang yang mempertanyakan mengapa Libanon tidak ikut dalam perang Arab-Israel. Banyak dugaan timbul bahwa ini tidak lepas dari sikap saling mengerti antara Libanon dan Israel.
Namun faktor yang paling menentukan meledaknya perang saudara adalah fakta banyaknya warga Palestina di Libanon. Menyusul konflik di Israel dan operasi Yordania yang menyapu militan Palestina di tahun 1970, maka banyak warga Palestina memilih Libanon sebagai tempat pengungsian. Pada tahun 1973 jumlah perbandingan orang Palestina dan orang Libanon jadi 1:10. Warga Palestina ini menemukan kesamaan dengan warga Islam Libanon. Mereka sama-sama miskin, “terlantar” dan kebanyakan beragama Islam. Ini membuat kedua kelompok tersebut mudah melebur dan saling membantu satu sama lain. Pada masa-masa ini, di tahun 1964, wartawan Charles Hélou menggantikan Chehab sebagai presiden.

Mulai bentrok

Di penghujung karir Hélou sebagai presiden, beberapa faksi dari organisasi pembebasan Palestina PLO mulai bentrok terbuka dnegan tentara Libanon. Untuk mengatasi masalah ini dibuat perjanjian di Kairo tanggal 3 November 1969 yang berisi kesepakatan bahwa pemerintah Libanon memberikan kekebasan bagi Palestina untuk mendirikan kamp pengungsi dan mendirikan kantong-kantong di sepanjang perbatasan selatan dengan Israel. Sebagai timbal balik PLO janji tidak mencampuri urusan dalam negeri Libanon.
Kesepakatan itu sulit diterima oleh banyak orang Palestina dan kalangan kiri Libanon. Aksi-aksi Palestina terhadap Israel Utara yang tak mampu dicegah pemerintah Beirut akhirnya membuahkan serangan balik Israel. Ini langsung dimanfaatkan oleh kubu Kristen Kanan, yang punya dendam sejarah dengan kelompok selatan, untuk turut menghabisi Palestina yang saat itu sudah melebur dengan kaum Muslim Libanon. Pada masa krisis ini, tepatnya tanggal 17 Agustus 1970, Suleiman Franjieh dipilih jadi presiden.
Gagal
Franjieh gagal memutuskan dua masalah penting saat itu. Yaitu apakah kelompok Syiah dan Islam lainnya diberikan kewenangan lebih dalam pemerintahan Libanon. Mengingat kelompok ini secara jumlah sudah lebih banyak dari Kristen. Kemudian yang kedua adalah apakah Libanon harus mendukung PLO. Libanon belum melupakan kegagalan politiknya saat tidak memihak dalam perang Arab-Israel. Ketakberpihakan itu justru dipandang sebagai politik mendukung Israel.
Berlarut-larutnya situasi membuat kelompok Gerakan Nasional Muslim Libanon yang dipimpin Kamal Jumblatt gerah dan mendesak dilakukan reformasi politik serta menyatakan dukungan kepada pejuang Palestina. Gerakan ini langsung mendapat dukungan luas dari kelompok Islam. Sementara itu Maronite Kristen ingin mempertahankan konsep pemerataan kekuasaan, yang secara tidak langsung memberikan kewenangan politik bagi kubu mereka. Karena itu mereka juga mengambil tindakan terhadap kelompok kiri Libanon dan PLO, yang menurut pandangan Maronite merupakan ancaman terhadap kesatuan Libanon.
Perang saudara
April 1975 menjadi saksi perang saudara paling berdarah yang pernah ada di Libanon. Pemerintahan lumpuh, sarana pra sarana hancur, dan korban jiwa secara cepat bertambah. Pada awal 1976 posisi Kristen kian terjepit dan Islam kelihatannya bakal menang. Dengan kata lain kalau ini terjadi maka Libanon menjadi kiri dan pro PLO. Apapun itu hasilnya, bagi Suriah negara tetangga Libanon, keadaan ini bakal memancing Israel campur tangan besar-besaran. Dan kalau terjadi maka itu sama sekali tidak menguntungkan Suriah.
Keadaan itu membuat Suriah melakukan manuver politik untuk mendukung kelompok Kristen Libanon. Sesuatu hal yang sulit dibayangkan, terutama karena posisi tersebut menjadikan Suriah bersekutu dengan Israel untuk membantu Kristen Libanon. Padahal Suriah dan Israel bermusuhan satu sama lain secara politik. Bahkan pada saat itu pun kondisi permusuhan tetap dipertahankan kendati bersekutu untuk mencegah kemenangan kelompok kiri dan PLO. Dukungan ini membuat kubu Kristen mulai meraih kemenangan atas perang saudara.
Perseteruan ini berujung dengan pembagian wilayah. Sebelah utara, termasuk Beirut utara, di bawah pemerintahan Kristen, sementara sebelah selatan di bawah pemerintahan Druze-Muslim-Palestina. Pada Oktober 1976 Liga Arab mengirim pasukan perdamaian untuk menjaga agar kedua pihak tidak saling menyerang. Ini berjalan baik dan berangsur-angsur kekerasan mulai berhenti. Akan tetapi permasalahan sesungguhnya belum berhasil diselesaikan.
Walaupun kontak kekerasan antar dua kelompok reda, tidak demikian dengan konflik antar sesama kelompok. Ini terjadi pada kelompok Islam, namun tidak pada Kristen. Partai Kristen Phalangist justru sukses membuat koalisi sehingga pemerintahannya menjadi kanan. Ini mencemaskan Suriah, sehingga ia yang tadinya mendukung kelompok Kristen, justru balik mendukung kelompok Muslim.
Perang dan kebabngkitan Hisbullah

Di saat bersamaan Palestina di perbatasan masih saja melakukan kekerasan terhadap Israel yang berujung dengan masuknya Israel kembali ke Libanon pada tanggal 14-15 maret 1978. Targetnya adalah menghancurkan kantong-kantong Palestina di perbatasan. Kekerasan baru tersebut menjadikan Libanon Selatan kembali membara. Akan tetapi di masa yang sama, rentang waktu 1975 sampai 1982, ekonomi Libanon mulai bangkit bersamaan meningkatnya ekspor minyak. Di luar itu Libanon tetap menjadi daerah yang porak poranda akibat perang.
Situasi politik pasca perang saudara lebih runyam ketimbang sebelumnya. Suriah kebingungan untuk menarik diri dari Libanon, mengingat ketidakstabilan wilayah, sementara Israel tidak merasa punya tanggung jawab politik sehingga mereka mudah saja menarik diri. Palestina banyak menderita kekalahan, ini menyimpan bom waktu pembalasan kembali, dan tentu saja hal tersbeut juga bisa memancing campur tangan ulang Israel. Di sisi lain kelompok Kristen akan terus berhutang pada Israel karena bantuannya. Dan situasi yang tidak kalah runyam adalah bangkitnya Pan-Arabisme sebagai jawaban atas perang yang berkepanjangan.
Aksi-aksi Palestina di perbatasan pada akhirnya kembali mendorong Israel melakukan operasi milter. 17 Juli 1981 angkatan bersenjata Israel membombardir markas PLO yang mengakibatkan 300 orang tewas. Ini disambung dengan invasi Israel ke Libanon Selatan pada tanggal 6 Juni 1982. Dalam kesempatan sama pemimpin Israel menyatakan akan memusnahkan PLO serta membentuk pemerintah Libanon yang bisa menciptakan suasana damai dengan Israel. Invasi berjalan mulus dan pasukan Suriah kalah.
Atas pengawasan internasional para pemimpin PLO meninggalkan Beirut, kemudian pergi ke beberapa negara Arab. Sementara tentara PLO bertahan di Utara Libanon dan lembah Al-Biqa. Pada masa ini pula muncul gerakan bersenjata baru yang dinamakan Hisbullah. Gerakan ini terinspirasi revolusi Islam Iran tahun 1979 dan terpicu oleh invasi Israel tahun 1982. Hisbullah yang anggotanya mayoritas Syiah bertujuan mengusir Israel dari Libanon dan membentuk negara Islam di sana.
Peran Suriah

Pada 17 Mei 1983 Israel dan Libanon hampir mencapai kesepakatan damai di mana termasuk penarikan mundur pasukan Israel, membuat zona keamanan di perbatasan Selatan Libanon dan membangun hubungan bilateral. Kesepakatan ini tidak banyak mendapat dukungan dari kelompok Muslim. Namun Israel tetap menarik pasukannya hingga tahun 1985 hampir seluruh pasukan tidak lagi ada di Libanon. Kekosongan ini kembali membuat Suriah sebagai negara yang bertanggung jawab atas Libanon. Suriah kemudian berusaha membuat pola kekuasaan baru yang ditolak presiden Gemayel saat itu.
Ketika jabatan Gemayel berakhir parlemen Libanon tidak bisa menyetujui presiden baru. Namun Gemayel tidak peduli dan menunjuk Jenderal Michel Aoun sebagai perdana menteri. Saat bersamaan, lawannya, Salim al-Hoss menyatakan diri sebagai perdana menteri. Jadi Libanon tidak memiliki presiden, tapi dua perdana menteri. Maret 1989 Aoun melancarkan apa yang disebut dengan perang kemerdekaan terhadap Suriah namun gagal. Pada tanggal 22 Oktober mayoritas parlemen Libanon yang terpilih dalam pemilu terakhir bertemu di Arab Saudi dan menyetujui pola pemerintahan kompromistis. Artinya baik Kristen dan Islam mempunyai kekuatan berimbang dalam pemerintahan.
Perang dari tahun 1975 sampai 1990 mengakibatkan 150 ribu warga Libanon tewas, seperempat warganya mengungsi, dan ratusan ribu lainnya mengalami pemindahan paksa. Pasca 1990 Libanon mulai berbenah sembari para pihak yang bertikai menahan diri sesuai kesepakatan pemerataan kekuasaan. Perdana Menteri Rafiq al-Hariri sukses menggiatkan ekonomi dan membuat Beirut kembali dikunjungi wisatawan. Masa-masa kepulihan Libanon ini mengingatkan orang akan istilah tempo dulu yang menyebut Beirut sebagai Parisnya Timur Tengah.
Resolusi 1559

Dewan Keamanan PBB pada tahun 2004 mengeluarkan resolusi 1559 yang menegaskan kedaulatan penuh Libanon tanpa campur tangan asing. Resolusi meminta penarikan penuh pasukan asing dan pelucutan semua milisi bersenjata. Tapi di lapangan resolusi ini seperti tidak banyak berbicara. Pasukan Suriah tetap ada di sana dan demikian pula milisi bersenjata tetap aktif terutama Hisbullah. Mereka kerap meluncurkan roket ke arah Israel Utara. Hisbullah menyatakan sebagai kelompok yang mendukung Palestina, oleh karenanya aksi-aksi Hisbullah kerap berkaitan dengan konflik Israel-Palestina. Selepas tahun 2000 Hisbullah juga bergerak sebagai partai politik dan mempunyai pengaruh kuat atas pemerintahan Libanon.
Awal tahun 2005 Hariri yang sudah tidak menjabat lagi dibunuh lewat serangan teror bom. Persitiwa tersebut memicu gelombang unjuk rasa besar-besaran menentang Suriah dan meminta penarikan penuh pasukan Suriah dari Libanon. Suriah dalam laporan PBB diduga sebagai pihak dibelakang aksi teror bom tersebut. Unjuk rasa menentang Suriah diimbangi oleh kelompok Muslim terutama dimotori oleh Hisbullah, yang sebaliknya justru meminta Suriah tetap hadir. Kendati begitu Suriah akhirnya menarik seluruh pasukan pada pertengahan 2005.
Walaupun situasi jauh lebih baik, Libanon sebenarnya tetap rawan. Mengingat isu awalnya yaitu pemerataan kekuasaan antara Islam dan Kristen, kemudian aktifnya sayap bersenjata dari Hisbullah di Libanon Selatan, serta konflik Israel-Palestina, belum juga terselesaikan. 12 Juli 2006 milisi bersenjata Hisbullah menyerang militer Israel. Delapan tentara Israel tewas dan dua lagi diculik. Hisbullah nampaknya melakukan aksi ini tidak lepas dari peristiwa kekerasan antara Israel-Palestina menyusul penculikan terhadap tentara Israel oleh Hamas di Jalur Gaza.
Aksi militer Hisbullah oleh Israel disebut sebagai pernyataan perang. Dan seperti mengulang sejarah panjang konflik di Libanon, Israel kembali mengerahkan mesin perangnya menyerang kota-kota di Libanon. Walaupun pemerintah di Beirut sudah mengatakan aksi kekerasan Hisbullah bukanlah tanggung jawab Libanon. Hisbullah sendiri menuntut pertukaran tahanan sebagai syarat pembebasan tentara Israel. Namun Israel menolak tuntutan itu dan meminta pembebasan tanpa syarat serta pelucutan Hisbullah.
Konflik Israel-Palestina dan Israel-Libanon tahun 2006 mencemasi banyak orang akan perang berdarah-darah di kawasan itu. Dalam dua pekan pertama konflik, jumlah korban sipil tewas sudah menanjak hingga ratusan. Padahal trauma perang di Beirut belumlah sirna. Pembangunan serta ekonomi yang sudah berjalan dan kembalinya wisatawan ke Libanon, seakan tidak dipandang sebagai barang suci yang harus dipertahankan. Kini warga Libanon harus kembali hidup dalam cekaman kengerian perang.

Radio Nederlhand Worlwide.

Tidak ada komentar: